Deskripsi alat kesenian tradisional angklung

Deskripsi alat kesenian tradisional angklung

Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Sejarah Angklung
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena — tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Jenis-jenis Angklung Tradisional

Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gubrag
Pada zaman dahulu, Kampung Cipining, Bogor, diancam oleh bencana kelaparan akibat tanaman padi di ladang-ladang yang tidak tumbuh dengan baik. Penduduk meyakini bahwa musibah tersebut terjadi akibat kemarahan Dewi Sri yang sedang murung karena kurang mendapat hiburan, atau sedang murka kepada penduduk. Penduduk yang juga meyakini bahwa Dewi Sri bersemayam di angkasa kemudian melakukan berbagai usaha untuk mengundang kembali Dewi Sri untuk turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi penduduk. Beberapa usaha dilakukan, di antaranya adalah menyediakan sedekah sesajian, mengadakan acara-acara kesenian seperti pertunjukan seruling, pertunjukan karinding, dan lain-lain.

Namun usaha-usaha tersebut tidak membawa hasil. Dewi Sri tetap tidak berkenan turun ke bumi, dan tanaman padi penduduk tetap tidak tumbuh dengan baik. Akhirnya, tam####ah kemudian seorang pemuda yang bernama Mukhtar. Ia mengajak kawan-kawannya pergi ke Gunung Cirangsad untuk menebang pohon bambu surat. Bambu tersebut kemudian dikeringkan dan sambil melakukan mati geni selama empat puluh hari, Mukhtar mengolah bambu-bambu tersebut menjadi waditra Angklung. Angklung tersebut lalu disempurnakan dengan ditambahkan dua buah dog-dog lojor. Ia kemudin mengajarkan permainan Angklung kepada penduduk dan mengatur suatu upacara bagi Dewi Sri, dengan mempergunakan kesenian Angklung sebagai media. Ternyata setelah upacara tersebut, tanaman padi penduduk tumbuh dengan baik, subur, dan butir-butirnya pun begitu bernas.

Hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa Dewi Sri telah menerima upacara tersebut, dan berkenan turun ke bumi memberikan berkah kesuburannya. Karena Angklung tersebut ternyata mampu memikat Dewi Sri untuk turun dari langit (dalam bahasa Sunda Ngagubrag), Angklung tersebut kemudian dinamakan Angklung Gubrag. Angklung Gubrag dimainkan pada upacara seren taun, yaitu upacara besarbesaran pada akhir tahun panen. Selain itu, Angklung Gubrag juga dimainkan pada upacara-upacara hajatan keluarga, perhelatan hari raya, hari-hari besar nasional, dan acara-acara lain yang menyangkut dan melibatkan orang banyak.

Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Angklung Bungko
Angklung Bungko terdapat di Desa Bungko yang terletak di perbatasan antara Cirebon dan Indramayu. Angklung Bungko yang pertama dibuat diyakini telah berusia lebih dari 600 tahun. Walaupun begitu, Angklung Bungko pertama masih ada, tersimpan dengan baik, walaupun sudah tidak bernada lagi. Angklung Bungko pertama ini selalu disertakan dalam setiap pergelaran kesenian Angklung Bungko sebagai simbol resminya pergelaran tersebut. Angklung Bungko dilestarikan oleh seorang tokoh masyrakat bernama Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, setelah dipergunakan sebagai kesenian yang mengiringi penduduk Desa Bungko berperang melawan serangan bajak laut. Oleh Ki Gede Bungko, Angklung Bungko kemudian dipergunakan sebagai kesenian yang mendukung penyebaran agama Islam. Selain jenis-jenis Angklung tersebut, masih banyak lagi jenis-jenis Angklung lain yang tersebar di hampir seluruh pelosok daerah Jawa Barat. Tercatat ada Angklung Jinjing yang kerap dimainkan dalam acara-acara hiburan, ada kesenian Angklung tanpa vokal di daerah Kanekes, kesenian Angklung dengan lirik berupa susualan di daerah Panamping, kesenian Angklung Sered di daerah Tasikmalaya yang berupa perlombaan memainkan waditra Angklung bagi anak-anak, dan lainlain.
Salah satu usaha pelestarian dan pengembangan kesenian Angklung tradisional telah dilakukan oleh Udjo Ngalagena melalui program pelatihan kesenian Angklung tradisional di sanggar seni Saung Angklungnya, di mana tiap – tiap peserta pelatihan diharuskan mempelajari dan menguasai dulu Angklung tradisional sebelum melangkah ke pelatihan Angklung modern atau kesenian Sunda lainnya yang telah dimodifikasi.

Angklung Buncis
Angklung Buncis dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Diceritakan, Pak Bonce yang sehari-hari bekerja sebagai pembubu ikan di sungai, suatu saat mendapati sungai tempat ia menyimpan bubu meluap dilanda banjir. Banjir tersebut menghanyutkan beberapa batang bambu yang kemudian ia bawa pulang dan disimpan di atas tungku. Setelah kering, bambu-bambu tersebut dipukul-pukul dan ternyata menghasilkan bunyi yang bagus dan nyaring. Bambu-bambu tersebut kemudian diolah dan dibuat alat musik Angklung. Angklung tersebut lalu dinamakan Angklung Buncis. Pak Bonce membuat tujuh set Angklung Buncis yang kemudian dijual kepada Aki Dartiam. Oleh Aki Dartiam, Angklung-angklung tersebut lalu dikombinasikan dengan dog-dog dan terompet.
Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Angklung Modern (Padaeng)
Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dinilai telah berhasil dengan baik menempatkan kembali kedudukan angklung di tengah-tengah masyarakat dengan melakukan modernisasi alat musik Angklung dari alat yang sederhana dan hanya berskala tangga nada pentatonis menjadi Angklung kompleks yang berskala tangga nada diatonis.
Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng atau biasa disebut juga Angklung Padaeng. Angklung Daeng, dilihat dari tata cara memainkan dan skala tangga nadanya, memungkinkan menjangkau repertoar-repertoar lagu populer, tidak saja yang terdapat dalam khasanah musik nasional, tetapi juga musik Barat lainnya.

Daeng sejak kecil sangat menggemari angklung. Pada waktu mengajar di HIS Kuningan, Daeng mempelajari seluk beluk Angklung secara lebih mendalam, termasuk proses pembuatan dan pemeliharaannya dari seorang tokoh pembuat angklung yang bernama Pak Djaja. Daeng yang saat masih belajar di Kweekschool mempelajari musik Barat, kemudian mencoba membuat Angklung yang mempergunakan skala tangga nada diatonis. Daeng menganggap Angklung yang berskala diatonis cenderung lebih komunikatif untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Di samping itu, masyarakat luas telah lebih mengenal skala tangga nada diatonis dibandingkan skala tangga nada pentatonis.
Dengan bantuan Pak Djaja, Daeng berhasil membuat satu set Angklung diatonis yang kemudian diperkenalkan pertama kali kepada anak-anak Pramuka dimana Daeng sendiri bertindak sebagai pembina. Alat musik tersebut kemudian dengan cepat diterima menjadi sarana kesenian dalam kehidupan kelompok Pramukanya, terutama dalam pertemuan-pertemuan kepramukaan dan perkemahan. Sementara itu, Angklung Padaeng di Kuningan mulai terkenal secara luas di berbagai kalangan. Pada tahun 1946 grup kesenian Angklung Daeng dipercaya mempertunjukan kebolehannya pada acara hiburan dalam Perundingan Linggar Jati. Pada tahun 1950, Daeng pindah ke Bandung dan mengajar di SMPN 2 Bandung. Selama di Bandung pula, Daeng mengembangkan Angklung diatonis dan diberikan kehormatan untuk menampilkannya dalam acara kesenian Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Perbedaan Angklung tradisional dengan Angklung Daeng, selain dalam skala tangga nada, juga terdapat dalam cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan Angklung renteng yang dimainkan oleh seorang pemain saja, sedangkan Angklung daeng dibuat untuk dimainkan bersama, di mana setiap pemain memainkan hanya satu nada saja, dan harmoni lagu dapat dicapai dengan kerjasana yang rapi antara para pemain. Sebagai seorang guru, Daeng melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang positif untuk pendidikan, terutama dalam pendidikan pembentukan watak. Tampak dalam permainan Angklung sifat-sifat bekerja sama, disiplin, kecermatan, keterampilan, dan rasa tanggung jawab. Demikian pula mengenai hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokok dalam pendidikan musik, seperti membangkitkan perhatian terhadap musik, menghidupkan musik, dan mengembangkan musikalitas, melodi, ritme, dan harmoni.
Daeng Soetigna tidak saja berhasil memperkaya khazanah alat musik Angklung, yang sebelumnya hanya berlaraskan tangga nada tradisional (pentatonis), menjadi bertambah dengan adanya Angklung berlaraskan diatonis kromatis, tetapi Bapak Daeng juga sangat berjasa di dalam pengembangannya menjadi perangkat musik modern, yang meliputi melodi seluas 3½ oktaf, dilengkapi dengan Angklung akor atau akompanyemen (besar dan kecil), untuk mengiringi alat musik Angklung tersebut.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...